Jumat, 20 Juli 2012

setapak jalan berhiasan nisan...



lagi, untuk ke empat atau kelima kalinya aku menapaki hamparan pematang sawah yang setengah liat itu. selalu, setiap tahunnya selalu tak mengenali daerah itu, begitu cepatnya sebuah pembangunan berjalan. ratusan hektar lahan sawah telah disulap dengan susunan perumahan minimalis. namun satu yang tak berubah dan tetap selalu ada disana, pusara Syamsul Bahri ayahanda tercinta bersama sang adiknya Syamsuardi.



masih teringat jelas dalam ingatan akan tahun 2006 dan dua tahun kemudian ketika aku masih mengecap pendidikan dikelas XI, saat dimana ayah menemani adiknya untuk selamanya. ikhlasku atas apa yang telah digariskan untukku....


aku benar-benar tak bisa mengenali daerah itu lagi, entah apa yang akan ku lihat pada tahun-tahun selanjutnya, akankah pusara orang tuaku menjadi hiasan ditengah-tengah bangunan minimalis itu?

tiga perempat pematang telah kulewati, hingga dengan beberapa langkah lagi aku bisa bertemu dengan ayah.

ketika hatimu meragukan sebuah tindakan atasmu, maka tinggalkanlah...


saat aku terhenti, sebuah hambatan membuat ku ragu untuk melanjutkan langkah, namun tak ada jalan lain untuk ku pilih. ragu namun harus ku tempuh.

saat keseimbangan mu melebihi kemampuanmu, maka kau akan terjatuh oleh keseimbanganmu sendiri...


sukses saat ragu kulangkahkan kaki ini, saat itu jugalah aku merasakan dinginnya dan begitu lembek licinnya tanah yang selalu diinjak oleh petani. aku mendarat dengan suksesnya terbaring miring, dan dengan tampang malu tertawa kecut pada orang-orang disekelilingku "kapan lagi nyobain nyungsep sawah, hehe"

dan akhirnya aku bertemu dengan ayah dan dalam hati si bungsu langsung merengek, ayah barusan liat gak ima nyungsep masuk sawah cuma buat ketemu ayah?


dan seperti tahun-tahun sebelumnnya, pusara itu selalu terlihat bersih ketika kami menginjakkan kaki disana. senyum puas untukmu disana, kutitip do'a di sela batu-batu yang mengelilingi pusara itu, jaga ayah di dalam sana...


selanjutnya masih menyusuri sawah, menyusuri apartemen yang sudah sangat rapat tak ada celah. aku duduk mengusap nisan Mariani. ibu ayah yang sudah lama tak ku singgahi. melihat rapatnya pusara sekelilingku, terbesit dalam hati, esok, ketika aku bertemu dengan malaikat maut apakah aku masih memiliki tempat? 


dan kami pun meninggalkan pusara menuju mobil corolla merah yang bertuliskan "FERRARI" yang cukup menghemat kantongku jika ingin mencicipi sauna dengan hanya membiarkannya terparkir dibawah terik matahari dan kau akan merasakan sensasi sauna.

ingin melanjutkan Autologi Rasa namun ku dapati novel itu dalam keadaan yang sangat tidak dapat disentuh, sesal ketika harus membawanya dan meninggalkannya terpanggang di dalam corolla itu.

aku mengalihkan pandangan menikmati langit biru dan semilir angin yang menerpa ringan wajahku dari balik jendela. indah, ketika aku mendapati sebuah pernyataan akan sebuah cita-cita, ima habis S1 langsung ambil profesi lanjut S2 ya...


tersentak, dan lamunanku mulai memasuki pikiranku, selesai study S1 yang terbayang dalam benakku hanya lah menamatkan program profesi dan aku akan menikah. S2? belum terpikirkan, sungguh benar-benar belum ada bayangan dalam otakku.

bagaimana aku kedepannya, aku hanya ingin cepat-cepat bekerja dan membawa ibu naik haji.

bicara tentang kehidupan, aku sudah memiliki gambaran akan apa yang harus aku lakukan untuk kedepannya...

si merah melaju melewati jalan yang sangat aku hafal, jalan yang setiap pagi selama lebih 6 tahun kulewati bersama ayah dan astrea-nya hingga ayah harus bersabar dengan strokenya. senyum tipis ketika momen-momen bersama satu per satu berjalan layaknya potongan-potongan slide berjalan. sungguh amat jelas dan tak tertinggal sepotongpun, tersusun rapi dalam ingatan.

desir pasir yang beradu dengan ban menghantarkan kami ke tujuan selanjutnya, Munir Rajolelo. pusara yang selalu teduh dipayungi bambu yang berumpun.

seorang keluargaku yang kebetulan bertemu dan mengiringi kami kepemakan berkata, dia masih belum kuat untuk berziarah ke sini.


ingatanku kembali ke dua tahun yang lalu, disaat orang bergembira menyambut idul fitri. kami harus tabah mengantarkan simanis Savira ke tempat peristirahatannya. gadis berumur 13tahun itu harus berjuang dengan penyakit ginjalnya yang mengharuskannya cuci darah. disaat kritis, disaat ia harus menanggung sakit yang teramat yang tak seharusnya dirasakan gadis berumur 13 tahun itu, ia selalu terlihat tegar. senyum yang terlihat letih selalu ia ukirkan diwajah pucatnya itu.

tak satupun orang berhak atas Kuasa yang telah di tetapkan oleh-Nya..




aku, dan apa yang aku lalui hari itu
nisan-nisan itu
esok, bagaimana denganku?
bagaimana dengan orang-orang yang ku tinggalkan?
siapkah kami?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...