yap.
hari ini pengen posting tentang kimono, baju yang selalu bikin saya tidak bisa mengatupkan mulut saya walaupun udah berkali-kali melihatnya. cantik, anggun, sopan, tertutup, rapi dan blablabla waktu saya lihat seseorang menggunakan pakaian tradisional jepang ini. *fyuh*
mari kita korek-korek tentang kimono
Kimono adalah pakaian tradisional negara Jepang untuk pria dan wanita yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Baru pada jaman Edo, kimono mengalami perubahan yang sampai sekarang masih dipertahankan, yaitu lengan kimono yang sedikit lebih panjang bagi wanita yang belum menikah dan obi (sabuk lebar untuk mengencangkan kimono) yang semakin besar.
Kimono berasal dari kata
Ki yang berarti mengenakan, dan
Mono yang berarti pakaian. Jadi arti kimono adalah mengenakan pakaian. Gampang juga ya?
Tapi kalo soal harga dan cara bikinnya, kimono gak ada gampangnya. Kimono yang berbahan dasar sutra bisa dihargai Rp 50 juta keatas, bahkan ada yang sampai Rp 300 juta untuk satu set lengkap bersama obi, geta (sendal khusus kimono) dan aksesoris lainnya. Cara memakainya pun tidak sembarangan dan ada namanya sendiri, yaitu Kitsuke.
- Peran Kimono Dalam Budaya Jepang
Mengingat cara mengenakan kimono yang rumit dan harga kain tradisional untuk kimono yang mahal, kimono hanya dikenakan orang-orang Jepang zaman sekarang, baik pria maupun wanita, serta anak-anak sewaktu menghadiri acara-acara istimewa seperti hari-hari besar setempat atau mengikuti kegiatan seni dan olah raga yang bersifat tradisional.
Wanita yang sudah genap berusia 20 tahun tidak akan mau melewatkan kesempatan memakai kimono Furisode yang paling indah untuk menghadiri upacara Seijin Shiki. Begitu pula orang tua dan kakek-nenek merasa berkewajiban untuk mendandani anak-anaknya memakai kimono pada perayaan anak-anak yang berusia 7, 5 dan 3 tahun yang disebut Hichi-go-san. Selain itu, kimono banyak dikenakan oleh orang-orang yang bergerak dalam bidang industri jasa dan pariwisata, seperti pelayan wanita di restoran khas Jepang (ryotei) dan pegawai penginapan khas Jepang (ryokan).
- Sejarah Kimono
1. Zaman Jomon dan Zaman Yayoi
Pada zaman ini kimono berbentuk baju terusan. Dari penggalian arkeologis tumpukan kulit kerang peninggalan zaman Jomon ditemukan Haniwa (barang-barang kecil dari tembikar yang dikubur untuk menemani perjalanan arwah ke alam lain) yang mengenakan pakaian atas yang disebut Kantoi (貫頭衣).
Menurut Gishiwajinden (buku sejarah yang ditulis orang Tiongkok mengenai tiga negara), pakaian untuk laki-laki adalah sangatlah sederhana, sehelai kain yang diselempangkan secara horizontal pada badan seperti pakaian pendeta Buddha, dan sehelai kain yang dililitkan di kepala. Pakaian wanita disebut Kantoi yang berupa sehelai kain yang ditengah-tengahnya dibuat lubang untuk memasukkan kepala dan tali yang digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.
Masih menurut catatan Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan untuk Jepang zaman dulu) "selalu mengenakan pakaian Kantoi berwarna putih." Pakaian rakyat biasa dari serat rami sedangkan orang yang berkedudukan mengenakan kain sutera.
2. Zaman Makam Kuno
Pakaian pada zaman ini mendapat pengaruh dari daratan Tiongkok, yakni terdiri dari dua potong pakaian: atas dan bawah. Haniwa mulai mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai di atas Kantoi, dan rok yang dililitkan di pinggang sebagai bawahannya. Haniwa yang ditemukan juga ada yang mengenakan celana berpipa lebar seperti Hakama sebagai bawahannya.
Jahitan mulai dikenal pada zaman ini. Agar Kantoi lebih mudah dipakai, di bagian depan dibuatkan bukaan dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit. Baju atas kemudian dibagi menjadi dua jenis kerah, yaitu:
* baju atas berkerah datar sampai persis di bawah leher (Agekubi)
* baju atas dengan kerah berbentuk huruf "V" (Tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.
3. Zaman Nara
Aristokrat zaman Asuka yang bernama Pangeran Shotoku menetapkan dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (Kan-i Junikai) yang dibeda-bedakan menurut warna hiasan penutup kepala (Kanmuri). Di dalam kitab hukum yang disebut Taiho ritsuryo, juga tercantum peraturan mengenai busana misalnya jenis-jenis pakaian resmi, pakaian pegawai istana, dan pakaian seragam yang dikenakan di dalam istana kaisar.
Pakaian formal untuk pejabat sipil (Bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak, sedangkan pakaian formal untuk pejabat militer (Bukan) tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar bebas dalam bergerak.
Menurut beberapa politikus legendaris yang salah satunya bernama Ononoimoko yang pernah menjabat sebagai Kenzui-shi (utusan Jepang untuk Dinasti Sui), busana dan aksesori pada zaman ini banyak dipengaruhi budaya Tiongkok yang mengalir masuk ke Jepang.
Sejak tahun 719, cara memakai kimono untuk pria maupun wanita mengalami perubahan. Bila dilihat dari depan, kerah bagian kanan harus dipertemukan di atas kerah bagian kiri. Cara ini merupakan kebalikan dari cara sebelumnya, yakni kerah bagian kiri harus di atas kerah bagian kanan.
Kuatnya pengaruh budaya Dinasti Tang juga membuat populer baju berlengan sempit yang disebut Kosode yang dikenakan sebagai pakaian dalam.
4. Zaman Heian
Menurut aristokrat bernama Sugawara Michizane, penghapusan Kentoshi (utusan Jepang untuk Dinasti Tang) memicu pertumbuhan budaya lokal yang ditandai dengan ketetapan resmi tata cara berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal. Sayangnya hal ini berakibat pada semakin rumitnya gaya pakaian zaman Heian. Wanita pada zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut Junihitoe. Menurut catatan, pakaian formal untuk pejabat militer (Bukan) juga kehilangan sifat kepraktisannya.
Pada zaman itu, pejabat pria mempunyai tiga jenis pakaian, yaitu:
* pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap yang disebut Sokutai
* pakaian untuk tugas resmi sehari-hari (Ikan) yang dibuat sedikit lebih ringan dari Sokutai
* pakaian untuk kesempatan pribadi disebut Noshi yang sepintas lalu terlihat mirip dengan pakaian jenis Ikan.
Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut Suikan atau Kariginu (bahasa Jepang: 狩衣 scara harafiah: "baju berburu"). Di kemudian hari, kaum aristokrat menjadikan Kariginu sebagai pakaian sehari-hari. Kaum samurai (Bushi) juga kemudian menggemari Kariginu.
Kaum samurai mengambil alih kekuasaan dan menjadikan bangsawan istana terasing dari dunia politik. Pakaian yang merupakan simbol status bagi bangsawan istana beralih menjadi simbol status kamu samurai.
5. Zaman Kamakura dan Zaman Muromachi
Kekuasaan pemerintahan beralih ke tangan para samurai di zaman Sengoku. Prajurit samurai mengenakan pakaian bernama Suikan, yang perlahan-lahan berubah menjadi pakaian yang disebut Hitatare yang kemudian pada zaman Muromachi dijadikan pakaian resmi kaum samurai.
Pada zaman ini muncul kimono yang disebut Suo (素襖) yang berciri khas lambang keluarga dalam ukuran besar (Daimon) di 8 tempat. Suo adalah sejenis Hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis di dalam.
Penyederhaan pakaian kaum samurai terus berlanjut. Di zaman Edo, pakaian kaum samurai disederhanakan menjadi setelan yang sampai saat ini terkenal dengan sebutan Kamishimo(裃), yang terdiri dari baju atas yang disebut Kataginu (肩衣) dan celana Hakama.
Pakaian wanita pada zaman ini juga menjadi lebih sederhana. Rok bawah yang disebut Mo (裳) berubah menjadi celana Hakama, sebelum akhirnya menghilang sama sekali dan digantikan oleh kimono model terusan. Sewaktu memakai Kosode (pakaian dalam), kain yang disebut Koshimaki dan Yumaki digunakan sebagai kain penutup pinggang. Kosode yang lebih panjang dipakai untuk melapisi Kosode yang berfungsi sebagai pakaian dalam, dengan maksud agar Kosode yang dikenakan sebagai pakaian dalam terlihat dari luar.
6. Zaman Edo Periode Awal
Sebagai pakaian yang merupakan simbol budaya orang kota yang mengikuti tren, Kosode menjadi semakin populer di kalangan masyarakat.
Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung-panggung sandiwara seperti Kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut Nishikie atau Ukiyoe mendorong semakin banyaknya orang yang bisa melihat gambar-gambar pemeran Kabuki dengan pakaian kimono yang gemerlap. Pakaian orang kota cenderung menjadi semakin mewah untuk meniru pakaian yang dikenakan pemain Kabuki.
Untuk mengatasi kecenderungan orang kota yang berpakaian semakin bagus dan menjauhi norma-norma Konfusianisme, pemerintah Bakufu secara bertahap memaksakan Kenyakurei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan ini gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh (Chanoyu) yang telah berurat berakar juga menjadi sebab kegagalan Kenyakurei. Upacara minum teh yang dihadiri dengan memakai kimono yang sedapat mungkin harus tampak sederhana ternyata sebetulnya berharga mahal.
Pada masa ini mulai dikenal tali pinggang yang disebut Kumihimo dan gaya mengikat Obi di punggung yang bertahan hingga zaman sekarang.
7. Zaman Edo Periode Lanjut
Politik isolasi (Sakoku) membuat terhentinya impor benang sutera. Industri benang sutera dalam negeri pun tumbuh pesat pada periode ini. Setelah berhasil mengendalikan produksi benang sutera, pemerintah Bakufu kembali berusaha kembali memaksakan cara berpakaian dan gaya potongan rambut yang sesuai dengan kelas-kelas di dalam masyarakat. Kali ini pemerintah Bakufu berhasil memaksakan keinginannya. Bahan pakaian orang kota tidak lagi dibuat dari kain sutera yang dikontrol oleh pemerintah, melainkan dari kain katun atau kain serat rami. Hal ini ternyata menumbuhkan kreativitas masyarakat agar kimono yang dibuat dari kain katun atau serat rami terlihat bagus dipakai.
Pakaian wanita yang disebut Tamoto (袂) menjadi populer di kalangan rakyat banyak. Tamoto merupakan bentuk awal dari kimono jenis Furisode yang dipakai sebagai baju pengantin wanita.
8. Zaman Meiji dan Zaman Taisho
Pada zaman Meiji, orang-orang dari golongan bangsawan istana berlomba mengganti kimono dengan pakaian ala Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang-orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan secara turun temurun tidak menjadi terpengaruh. Orang-orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi asli yang dipelihara sejak zaman Edo.
Setelah peraturan pemakaian benang sutera dinyatakan tidak berlaku lagi, kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain. Pada saat yang bersamaan, industri pemintalan benang sutera didirikan di banyak tempat di Jepang. Sesuai pesatnya perkembangan industri pemintalan, berkembang pula industri tekstil yang menggunakan benang sutera. Produk industri tekstil pada zaman ini adalah berjenis-jenis kain sutera seperti silk crepe, rinzu, omeshi, dan meisen.
Teknik pencelupan kain juga berkembang dengan cepat seiring dengan tersedianya berjenis-jenis kain yang dapat diproses. Pada zaman ini mulai dikenal teknik yang disebut Yuzen (友禅), yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan motif (biasanya berbentuk bunga-bunga) di atas kain kimono.
Kain sutera dengan motif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus yang sudah populer sejak zaman Edo ternyata masih populer di antara kalangan atas sebagai pakaian terbagus yang cuma dipakai pada kesempatan istimewa. Pada saat yang sama, kain sutera hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan juga disukai banyak orang.
Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai mengalir ke Jepang, penjahit-penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian ala Barat. Sejak saat itu, istilah Wafuku mulai dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Pada masa-masa awal orang Jepang mulai mengenakan pakaian ala Barat, orang-orang kalangan atas mengenakan pakaian ala Barat yang dipinjam dari toko-toko yang menyewakan pakaian ala Barat.
Di zaman Meiji, sebagian besar orang laki-laki masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Pakaian ala Barat berupa setelan jas menjadi populer sebagai pakaian formal pria untuk keluar rumah.
Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer, sedangkan model seragam sekolah anak laki-laki ditiru dari model seragam tentara angkatan darat. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara.
Wanita Jepang pada zaman Meiji semuanya masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.
Pada zaman Taisho periode lanjut, seiring dengan kebijakan pemerintah yang memiliterisasi seluruh negeri, seragam anak sekolah perempuan yang selama ini berupa Andon Hakama (kimono dengan celana Hakama) diganti dengan pakaian ala barat yang disebut Serafuku, yakni setelan rok dan baju blus yang mirip yang sering dipakai oleh pelaut.
9. Zaman Showa
Di zaman perang, pemerintah membagi-bagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut Kokumin fuku, sedangkan pemerintah memaksa para wanita untuk memakai Monpei (celana panjang untuk kerja yang berkaret di bagian pergelangan kaki).
Wanita Jepang hampir tidak mempunyai kesempatan untuk memakai kimono sewaktu zaman perang. Walapun begitu, sebenarnya Monpei bisa dikatakan merupakan salah satu jenis dari Hakama, semacam celana yang dikenakan bersama kimono.
Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jepang. Wanita Jepang merasa lega karena perang sudah berakhir dan kembali terpikat pada keindahan kimono. Tapi zaman cepat berganti, kimono tidak mungkin menandingi kepopuleran pakaian ala Barat yang praktis untuk dipakai sehari-hari, sehingga jumlah orang Jepang yang memakai kimono menjadi berkurang sedikit demi sedikit.
Walaupun demikian, sampai sekitar tahun 1965 masih terlihat banyak sekali wanita Jepang yang memakai kimono sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu kepopuleran kimono menjadi terangkat kembali dengan diperkenalkannya kimono indah berwarna-warni dari bahan wol. Kimono dari bahan wol disukai wanita Jepang zaman itu sebagai pakaian untuk kesempatan santai.
Pedagang kimono risau dengan kejatuhan popularitas kimono dari kain sutera yang dianggap tidak praktis untuk pakaian sehari-hari. Demi kelangsungan bisnis, pedagang kimono mencari berbagai macam cara untuk meningkatkan jumlah penjualan barang. Salah satu caranya adalah dengan memasyarakatkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut Yakusoku. Peraturan yang sengaja dibuat-buat untuk mendikte pembeli bahwa kimono jenis tertentu hanya cocok dengan aksesori tertentu ternyata tidak mengena di hati konsumen. Walaupun pedagang sudah melakukan promosi kimono secara besar-besaran, di dalam masyarakat Jepang telanjur terbentuk opini bahwa "memakai kimono itu ruwet." Orang Jepang pun semakin menjauh dari kimono. Akibatnya, industri tekstil yang menghasilkan bahan kain untuk kimono (Tanmono) satu per satu menjadi bangkrut.
Sekarang sudah tidak bisa ditemui lagi laki-laki yang memakai kimono sebagai pakaian sehari-hari di rumah, padahal sampai tahun 1960-an masih banyak terlihat pemandangan laki-laki berkimono di rumah (bahkan masih bisa dilihat pada gambar-gambar Manga terbitan tahun 1970-an).
Saat ini tidak begitu banyak lagi laki-laki Jepang yang memakai kimono, kecuali Samue (作務衣) yang dipakai sebagai baju kerja.
- Kimono Wanita
Kimono untuk wanita terdiri dari berbagai jenis yang semuanya sarat dengan simbolisme dan isyarat-isyarat terselubung. Pilihan jenis kimono tertentu bisa menunjukkan umur si pemakai, status perkawinan (masih lajang atau sudah menikah), dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.
Jenis-jenis kimono wanita disusun menurut tingkatan formalitas, mulai dari kimono yang paling formal hingga kimono santai:
* Tomesode
Tomesode adalah jenis kimono yang paling formal, umumnya berwarna hitam dan hanya dikenakan oleh wanita yang sudah menikah. Tomesode yang berwarna hitam disebut Kurotomesode. Pada kimono jenis Tomesode terdapat lambang keluarga (kamon) si pemakai. Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Ciri khas Tomesode adalah motif yang indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki). Tomesode dikenakan untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta atau acara-acara yang sangat resmi.
* Furisode
Furisode adalah kimono formal untuk wanita muda yang belum menikah. Ciri khas Furisode pada bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian. Furisode dikenakan pada waktu menghadiri upacara "Seijin Shiki" (hari menjadi dewasa), menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda atau kunjungan ke kuil Shinto di hari-hari awal Tahun Baru (Hatsumode).
* Homongi
Homongi (bahasa Jepang: 訪問着, secara harafiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita yang sudah menikah atau wanita dewasa yang belum menikah. Homongi dikenakan wanita yang sudah menikah untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta-pesta resmi, Tahun Baru, atau upacara minum teh.
* Iromuji
Iromuji kimono semiformal yang bisa dijadikan kimono formal jika mempunyai lambang keluarga (kamon). Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Bahan umumnya tidak bermotif dan berwarna merah jambu, biru muda, kuning muda atau warna-warna lembut lainnya. Iromuji dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan atau upacara minum teh.
* Tsukesage
Tsukesage adalah kimono semi formal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitasnya, Tsukesage hanya setingkat dibawah Homongi. Tsukesage biasa dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan, pesta resmi, Tahun Baru, atau upacara minum teh yang sifatnya tidak begitu resmi.
* Komon
Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas pada motif sederhana yang kecil-kecil yang berulang. Komon bisa dikenakan untuk menghadiri pesta alumni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.
* Tsumugi
Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah, walaupun boleh juga dikenakan untuk keluar rumah seperti berbelanja dan jalan-jalan. Ciri khas Tsumugi pada bahan yang merupakan bahan tenunan sederhana dari katun atau benang sutera kelas rendah yang tebal dan kasar sehingga kimono jenis ini tahan lama. Pada zaman dulu, Tsumugi digunakan untuk bekerja di ladang.
* Yukata
Yukata adalah jenis kimono santai yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis yang dipakai untuk kesempatan santai di musim panas.
- Pakaian Pengantin Wanita
Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (Hanayome Isho) terdiri dari Furisode dan Uchikake (sejenis mantel yang dikenakan di atas Furisode). Hanayome Isho dikenakan pengantin wanita pada saat upacara dan resepsi pernikahan.
Furisode khusus pengantin yang merupakan bagian dari Hanayome Isho berbeda dengan Furisode yang dikenakan wanita muda yang belum menikah. Furisode khusus pengantin mempunyai motif-motif yang dianggap dapat mengundang keberuntungan seperti burung Jenjang (burung Tsuru), dan berwarna lebih cerah dibandingkan dengan Furisode biasa.
Shiromuku adalah pakaian pengantin wanita tradisional Jepang yang berupa Furisode yang berwarna putih bersih dan tidak bermotif.
- Kimono Pria
Kimono pria jauh lebih sederhana dibandingkan dengan kimono wanita. Kimono pria didominasi warna-warna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.
* Setelan Montsuki dengan Hakama dan Haori.
Kimono pria yang paling formal disebut Montsuki yang di bagian punggungnya terdapat lambang keluarga (Kamon) si pemakai. Bawahan yang digunakan untuk Montsuki adalah celana panjang Hakama, sedangkan mantelnya disebut Haori.
Montsuki yang dipakai lengkap dengan Hakama dan Haori juga berfungsi sebagai pakaian pengantin pria. Selain sebagai pakaian pengantin pria, Montsuki lengkap dengan Hakama dan Haori hanya dikenakan pada waktu menghadiri upacara yang sangat resmi, seperti resepsi pemberian penghargaan dari Kaisar/pemerintah.
* Ki Nagashi
Ki Nagashi adalah kimono santai untuk dipakai sehari-hari yang dikenakan pria untuk keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Bahannya bisa terbuat dari katun atau bahan campuran. Ki Nagashi banyak dikenakan pemeran Kabuki pada saat latihan atau guru tari tradisional Jepang pada saat mengajar.
8. Aksesori dan Pakaian Pelengkap untuk Kimono
* Hakama
Hakama adalah semacam celana panjang yang dikenakan pria yang juga terbuat dari bahan berwarna gelap. Hakama berasal dari daratan Tiongkok dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Hakama umumnya dikenakan pendeta kuil Shinto . Di kalangan olah raga tradisional Jepang seperti Kendo dan Kyudo, Hakama dikenakan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
* Geta
Geta adalah sandal dari kayu yang dilengkapi dengan hak. Geta berhak tinggi dan tebal yang dipakai oleh Maiko disebut Pokkuri
* Junihitoe
Junihitoe adalah kimono 12 lapis yang dipakai oleh wanita Jepang zaman dulu di istana kaisar.
* Kanzashi
Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.
* Obi
Obi adalah sabuk dari kain yang seperti stagen yang dililitkan ke badan pemakai untuk mengencangkan kimono
* Tabi
Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dibelah dua pada bagian jari kaki untuk memisahkan jempol kaki dengan jari-jari kaki yang lain. Tabi dipakai sewaktu memakai sandal, walaupun ada Tabi dari kain keras yang dapat dipakai begitu saja seperti sepatu bot.
* Waraji
Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.
* Zori
Zori adalah sandal tradisional Jepang yang bisa terbuat dari kain atau anyaman sejenis rumput (Igusa).
Banyak orang tidak tahu kalau kimono itu banyak jenisnya, sesuai dengan tingkat formalitas dan status pemakainya.
Uchikake (打掛) adalah kimono formal yang berwarna berwarna putih atau merah terang yang dipakai oleh sang pengantin di hari pernikahannya.
Kurotomesode (黒留袖) adalah kimono formal berwarna hitam yang dipakai oleh para orangtua di hari pernikahan anaknya.
Furisode (振袖) adalah kimono yang dipakai oleh wanita yang belum menikah di acara-acara formal dan Seijin shiki (成人式), upacara tradisional untuk merayakan sang remaja perempuan yang beranjak dewasa.
Irotomesode (色留袖) adalah kimono semiformal yang dipakai oleh wanita yang telah menikah untuk menghadiri upacara pernikahan keluarganya.
Homongi (訪問着),
Tsukesage (付け下げ) dan
Edo Komon (江戸小紋) adalah kimono-kimono semiformal yang boleh dipakai oleh wanita yang telah menikah maupun yang belum menikah untuk menghadiri acara-acara formal dan semiformal.
Maiko Hikizuri (舞妓の引きずり) atau
Susohiki (すそ引き) adalah kimono-kimono yang dipakai khusus oleh para geisha dan maiko.
Iromuji (色無地) adalah kimono yang dipakai untuk upacara minum teh.
Dan yang terakhir adalah
Yukata (浴衣).
Umumnya yukata berbahan dasar katun dan dibikin dengan mesin pabrik, lain dengan kimono sutra yang dijahit sepenuhnya oleh tangan-tangan ahli. Karena itu harga yukata pun jauh berbeda dengan kimono sutra dan terjangkau oleh semua orang.
http://www.japan-zone.com/culture/kimono.shtmlhttp://www.jepang.net/2008/12/kimono-jepang.html
http://www.binus.web.id/index.php?topic=1459.0;wap2